Pesan dari Presiden

Pesan dari Presiden 2025-07-01T14:35:52+07:00

Message from the President – NAFC 2025

Becik ketitik, ala ketara.

Dengan penuh rasa syukur, saya menyampaikan apresiasi yang tulus kepada seluruh peserta, narasumber, mitra, dan panitia yang telah berkontribusi dalam menyukseskan National Anti-Fraud Conference (NAFC) 2025 di Yogyakarta. Selama dua hari penuh, semangat keterbukaan dan kejujuran mengalir dalam setiap sesi, membuktikan bahwa tekad melawan fraud terus menyala di berbagai lini kehidupan berbangsa.

Sebelum konferensi dimulai, ACFE Indonesia Chapter telah lebih dulu menggelar Call for Papers 2025 sebagai pembuka reflektif yang menelusuri perjalanan pemberantasan korupsi dari era kemerdekaan hingga reformasi. Partisipasi yang kian meningkat setiap tahun menunjukkan bahwa riset dan gagasan kritis memiliki tempat penting dalam memperkuat sistem anti-fraud nasional.

NAFC 2025 sendiri bukan sekadar forum ilmiah. Ia adalah ruang pertemuan para penjaga integritas—dari regulator hingga masyarakat sipil—yang percaya bahwa kejujuran adalah jalan panjang yang harus ditempuh bersama. Dari diskusi panel hingga peluncuran dua karya strategis, kita belajar bahwa membangun ekosistem antikorupsi membutuhkan sinergi nilai, kepemimpinan, dan kesadaran etis.

Dengan mengangkat tema “Becik Ketitik, Ala Ketara,” konferensi ini mengajak kita untuk tidak ragu bahwa kebenaran akan selalu menampakkan dirinya. Yogyakarta menjadi simbol ideal—tempat nilai moral, pengetahuan, dan keteladanan berpadu—untuk menegaskan bahwa dalam melawan fraud, nurani yang terjaga dan kolaborasi yang kokoh adalah kunci ketahanan kita sebagai bangsa.

Key Takeaways

Dalam sambutannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengajak kita kembali pada hakikat rasa—kesadaran batin yang menjadi inti dari integritas dalam budaya Jawa. Beliau menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan perangkat hukum, tetapi memerlukan sentuhan budaya, pendidikan karakter, dan penguatan nilai-nilai batin dalam kehidupan sehari-hari.

Keynote speech dari Wakil Ketua BPK RI, Dr. Budi Prijono, memperkuat pesan tersebut dengan pendekatan kelembagaan. Beliau menyoroti pentingnya membangun sistem pengawasan yang kuat dan audit berbasis risiko fraud. Keteladanan kepemimpinan, kecakapan digital, dan keberanian untuk memperbaiki sistem secara berkelanjutan menjadi pilar utama dalam menjaga akuntabilitas publik.

Diskusi panel pertama membuka ruang refleksi tentang bagaimana karakter antikorupsi dapat ditanamkan melalui pendidikan, pelatihan berkelanjutan, dan kepemimpinan yang berani. Kompetensi teknis harus dibarengi dengan keberanian moral dan internalisasi nilai sebagai budaya kerja, bukan sekadar kepatuhan administratif.

Panel kedua membawa kita pada lanskap pengelolaan sumber daya alam yang sarat risiko fraud. Praktik pertambangan ilegal dan konflik kepentingan membutuhkan respons sistemik: pengawasan berbasis data, partisipasi publik, dan sinergi antarlembaga menjadi fondasi utama menuju tata kelola SDA yang adil dan transparan.

Dalam panel ketiga diskusi menyoroti sisi kelam pasar modal—manipulasi laporan keuangan, transaksi terselubung, dan penyalahgunaan afiliasi yang merusak kepercayaan investor. Solusinya tidak cukup pada tata kelola formal, tetapi harus menyentuh substansi kejujuran, audit yang tajam, dan pemahaman risiko yang komprehensif.

Panel keempat menyoroti penguatan KUHP baru dan tantangan fraud digital yang makin kompleks. Fraud kini dilakukan lewat ekosistem siber yang canggih, dengan penyalahgunaan data dan rekening digital. Pencegahan memerlukan pembuktian adaptif, pelaporan insiden, serta kolaborasi antar lembaga dan sektor.

Di panel kelima diskusi membawa perspektif segar dengan memadukan pendekatan budaya, psikologi, dan pendidikan nilai. Kesadaran antikorupsi tidak dibangun karena rasa takut, melainkan karena kesadaran akan tanggung jawab sosial. Integritas menjadi fondasi dalam cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan.

Panel keenam menyoroti urgensi pidana korporasi sebagai instrumen menjaga kepatuhan dan keberlanjutan bisnis. KUHP baru memberi dasar hukum tegas untuk menindak badan hukum yang lalai atau membiarkan fraud terjadi. Kepemimpinan etis, penguatan pengendalian internal, dan implementasi nyata kebijakan antisuap menjadi kunci pencegahan. Kepatuhan dipandang bukan beban, melainkan investasi strategis.

Kemudian pada panel ketujuh diskusi membahas ancaman fraud digital berbasis AI seperti deepfake dan voice phishing. Ditekankan pentingnya respons adaptif melalui teknologi pendeteksi, literasi digital, dan regulasi yang selangkah lebih maju dari pelaku.

Sesi ditutup dengan monolog reflektif dari Taufiequrrahman Ruki. Beliau  mengingatkan bahwa fraud sering kali bermula dari pelanggaran tanggung jawab fidusia. Pencegahan bukan hanya soal sistem dan hukuman, melainkan keberanian moral untuk menjaga integritas meski dalam tekanan. Dalam dunia yang penuh intervensi, hanya pribadi yang selesai dengan dirinya yang mampu berkata cukup.

Di sela rangkaian diskusi NAFC 2025, turut diluncurkan dua karya strategis ACFE Indonesia Chapter. Pertama, Laporan Survei Fraud Indonesia 2025 yang menyajikan pemetaan tren fraud nasional berbasis data lapangan. Kedua, buku Anti-Fraud Journey—The Untold Story yang menghimpun refleksi mendalam dari 62 praktisi lintas sektor di Indonesia dalam mencegah, mendeteksi, dan menindak berbagai bentuk fraud secara nyata dan inspiratif.

Lesson Learned and Call to Action

Rangkaian NAFC 2025 menegaskan bahwa pemberantasan fraud tidak bisa hanya bertumpu pada regulasi dan teknologi. Integritas pribadi, keteladanan kepemimpinan, dan budaya organisasi yang menolak kompromi terhadap kejujuran menjadi pondasi utama sistem yang tangguh. Di tengah era digital, tantangan baru seperti manipulasi AI menuntut kewaspadaan etis dan kecakapan digital yang lebih tajam.

Sinergi lintas sektor menjadi kunci dalam menghadapi kompleksitas fraud yang menyebar di berbagai lini. Pendekatan pencegahan harus bertransformasi dari kepatuhan berbasis aturan menuju integritas berbasis nilai. Dalam model ini, kesadaran batin menjadi pendorong utama, bukan sekadar ketakutan terhadap sanksi.

Pimpinan lembaga perlu memperkuat tone at the top dan pengendalian internal berbasis risiko. Dunia pendidikan pun harus menanamkan karakter antikorupsi melalui pembelajaran nilai dan refleksi, bukan sekadar pengetahuan teknis. Di saat yang sama, kecerdasan buatan perlu diarahkan bukan hanya untuk melawan fraud, tetapi juga untuk memperkuat ekosistem integritas.

Akhirnya, seluruh elemen masyarakat—di sektor publik maupun privat—dihimbau untuk mengambil peran aktif sebagai penjaga kejujuran di lingkungannya masing-masing. Karena fraud bukan hanya pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Mari kita bawa pulang semangat Becik Ketitik, Ala Ketara sebagai kompas moral bersama dalam membangun Indonesia yang bersih dan berintegritas.

Karena dalam perjuangan melawan fraud, integritas bukan sekadar pilihan—ia adalah jalan hidup yang harus diperjuangkan bersama.

Salam hormat dan penuh harapan,

Dr. Hery Subowo, CFE

President, ACFE Indonesia Chapter