Latar Belakang
Pengawasan keuangan daerah yang ketat sangat penting untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif dan efisien. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecurangan pemerintahan daerah masih terjadi secara masif. Berdasarkan data aparat penegak hukum yang dihimpun oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), dikatakan bahwa kasus korupsi pemerintah daerah mendominasi tren sepanjang tahun 2016 hingga 2019. Selain itu, merujuk pada statistik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Tindak Pidana Korupsi (TPK) menurut instansi, terdapat 75 kasus yang melibatkan pemerintah daerah dari total 161 kasus yang terjadi pada tahun 2023.
Jika hal ini terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat. Kondisi tersebut akan semakin mengulur waktu pemerintah daerah untuk mencapai target pembangunan wilayahnya, yang akhirnya berdampak pada agenda strategis nasional.
Untuk mengatasi tantangan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki fungsi dan otoritas dalam mengawasi dan mengelola keuangan negara secara independen. Lembaga ini bertanggung jawab atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri, yang keberadaannya diatur dalam Pasal 23 E, Pasal 23 F, dan Pasal 23 G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Guna memperkuat kedudukan BPK, disusun pula Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang secara khusus mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang BPK. Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, BPK memiliki kewajiban untuk mendorong peningkatan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara guna mencapai tujuan tersebut.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dimandatkan kepada BPK, yakni Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu. BPK terus berusaha meningkatkan kualitas pemeriksaan agar dapat meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan. Selain itu, melalui pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, BPK juga bertanggung jawab untuk memastikan perbaikan berkelanjutan terhadap program pembangunan.
Termaktub dalam International Standard of Supreme Audit Institutions (ISSAI) Nomor 12 tentang The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions, lembaga audit harus mampu memberikan perubahan bagi kehidupan masyarakat (making a difference to the lives of citizens). Selain memperkuat akuntabilitas, transparansi dan integritas entitas sektor publik, SAI juga harus menunjukkan relevansi dari pekerjaannya kepada para pemangku kepentingan (to demonstrate ongoing relevance of its works to citizens, Parliament and other stakeholders).
Sebagai salah satu anggota International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), BPK memandang perlu untuk ikut menerapkan prinsip di atas melalui fungsinya sebagai lembaga pemeriksa tertinggi di Indonesia. Diperlukan terobosan dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan dengan sejumlah penekanan pada aspek kinerja/program tertentu yang menjadi prioritas pemerintah. Sehingga tak hanya berorientasi pada opini laporan keuangan, pemerintah juga terpantik untuk mengoptimalkan program yang mereka laksanakan; tak hanya di level input-proses-output, namun hingga ke level outcome.
Bergerak dari pemikiran tersebut, BPK memerlukan strategi penyusunan laporan hasil pemeriksaan yang tidak hanya melihat dari sisi kewajaran penyajian laporan keuangan, melainkan juga aspek kinerja entitas, demi memberikan nilai tambah kepada pembaca dan pengguna laporan. Maka timbul gagasan untuk melaksanakan integrated audit, yakni pemeriksaan laporan keuangan dengan penekanan pada aspek kinerja tertentu.
Integrasi antara pemeriksaan laporan keuangan dengan aspek kinerja ini menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang dikenal dengan nama Long Form Audit Report (LFAR). Dalam lingkup pemeriksaan, istilah ini belum dikenal dan digunakan secara umum, baik di Indonesia maupun dunia. Namun, berdasarkan ISSAI 400: Fundamental Principles of Compliance Auditing, disampaikan bahwa pelaporan pemeriksaan kepatuhan dapat berbentuk ringkas (short form) dalam bentuk satu pernyataan tertulis tentang pendapat atas level kepatuhan entitas, atau dalam format yang lebih panjang berisi penjelasan yang lebih detail dan komprehensif atas aspek-aspek tertentu, atau disebut long form. Berangkat dari sana, BPK pun mulai memperkenalkan LFAR dalam pendekatan pelaporan pemeriksaannya.
Menggali Potensi Fraud dalam Pemeriksaan LFAR
LHP yang menjadi output dari metode LFAR dapat memuat informasi yang lebih relevan bagi masyarakat. Masyarakat mendapat simpulan yang lebih lengkap dan dapat lebih dipahami secara komprehensif oleh para pemangku kepentingan sehingga lebih akurat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Situasi ideal ini sejalan dengan ISSAI Nomor 12 yang menyatakan bahwa Supreme Audit Institution (SAI) harus bisa memberikan nilai tambah dan manfaat kepada masyarakat melalui skema pemeriksaan.
Melalui metode LFAR, BPK dapat memeriksa laporan keuangan bersama dengan kinerja dari pemerintah daerah. Hasil pemeriksaan Lembaga Keuangan Pusat dan Daerah (LKPD) yang menunjukkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ternyata tidak berbanding lurus dengan kinerja dari pemerintah daerah tersebut. Hal ini tercermin dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pilot project yang mengindikasikan adanya program-program pemerintah yang belum efisien, efektif, dan ekonomis. Kondisi ini juga menjawab pertanyaan masyarakat mengapa mayoritas opini pemerintah daerah sudah WTP, namun performa/kinerja daerah tersebut belum maksimal.
Penggabungan dua pemeriksaan ini juga secara tidak langsung menghubungkan angka-angka di laporan keuangan dengan Teori Value for Money. Teori ini merupakan konsep penilaian kinerja bagi organisasi sektor publik yang tidak hanya menggunakan komponen penyerapan anggaran saja. Agar dikategorikan berkinerja baik, organisasi sektor publik wajib memenuhi unsur ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (3E). Menurut Mardiasmo (2002), ekonomi berarti organisasi sektor publik dapat memeroleh input dengan kualitas tertentu dengan harga terendah. Selain itu, efisiensi merupakan bentuk pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input terendah untuk mencapai output tertentu. Terakhir, efektivitas merupakan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan.
Selama ini, auditor cenderung hanya melihat temuan audit berdasarkan materialitasnya saja. Selagi angka temuan tidak melewati batas materialitas, maka pemerintah daerah seolah-olah tidak melakukan kesalahan berarti. Kondisi ini akan terberantas ketika auditor menerapkan kombinasi dengan komponen 3E. Alih-alih hanya melihat materialitas, temuan tersebut langsung dikaitkan dengan salah satu atau bahkan semua komponen dari teori tersebut.
LFAR memberikan analisis mendetail pada pengeluaran pemerintah. Laporan audit yang diterbitkan dapat mendeteksi lebih lanjut bagaimana daa tersebut digunakan dan apakah memberikan output yang sesuai. Misalnya, jika terdapat belanja yang berulang pada institusi pemerintahan dalam jangka waktu yang tidak sebentar, BPK dapat lebih mudah mengungkapkannya. Kondisi ini kemudian dapat memaksimalkan fungsi BPK dalam mengatasi pengeluaran yang tidak perlu.
Terlebih lagi, LFAR dapat memungkinkan BPK untuk menilai kinerja supplier dan kontraktor dalam proses pengadaan barang dan jasa. Hal ini perlu menjadi perhatian sangat penting karena dalam kurun waktu 2004-2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat dalam penanganan 1.351 kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa. Padahal, opini dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah di Indonesia sudah mencapai 82% dari keseluruhan di tahun 2022. Data ini seolah olah membuat opini yang diberikan oleh BPK tidak ada artinya.
Dengan penilaian mendetail menggunakan LFAR, BPK dapat menekan risiko audit sehingga pencegahan fraudulent financial statement (FFS) menjadi lebih efektif. Sampling menjadi lebih banyak dan cakupan area audit lebih luas yang membuat auditor berpotensi lebih tinggi dalam menemukan salah saji. Bahkan, pengkaitan audit keuangan dengan kinerja dalam LFAR dapat menjadi jembatan untuk mendeteksi fraud lebih lanjut, diantaranya big fraud maupun management fraud.
Analisis benchmarking, yaitu membandingkan kinerja suatu entitas dengan standar industri atau entitas lain yang sebanding, biasanya dimasukkan dalam LFAR. Dengan menggunakan analisis ini, BPK dapat menemukan praktik terbaik dan mendorong penerapan praktik tersebut untuk meningkatkan efisiensi dan ekonomis. Sebagai contoh, jika BPK menemukan bahwa instansi pemerintah di daerah tertentu memiliki biaya operasional yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain dengan hasil yang sama atau lebih baik, laporan audit dapat merekomendasikan adopsi praktik-praktik yang digunakan oleh instansi yang lebih efisien tersebut.
LFAR juga memungkinkan pemerintah untuk mengoptimalkan anggaran dengan cara yang lebih strategis. Dengan memiliki informasi yang lebih rinci tentang bagaimana dana digunakan dan hasil yang dicapai, pemerintah dapat membuat keputusan yang lebih baik tentang alokasi anggaran di masa depan. Sebagai contoh, LFAR dapat direkomendasikan jika dana dialokasikan untuk program yang tidak memberikan hasil yang diharapkan meskipun telah menghabiskan sejumlah besar uang. Laporan audit tersebut dapat juga menyarankan untuk memindahkan dana tersebut ke program lain yang lebih efisien. Ini menjamin setiap rupiah dibelanjakan dengan cara yang paling efektif dan menghasilkan pengelolaan anggaran yang lebih efisien.
Interkoneksi antara laporan keuangan dengan kinerja pada LFAR dapat menurunkan risiko audit yang dialami oleh BPK. Dengan begitu, opini yang dihasilkan juga lebih setara dengan kinerja yang dilakukan oleh insitusi pemerintah yang diaudit. Bahkan, bukan tidak mungkin aspek kinerja tadi akan menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan opini audit akan institusi pemerintah. Jika demikian, maka institusi pemerintah akan semakin gencar untuk memperbaiki kinerja mereka sehingga opini yang tercipta akan maksimal.
Implementasi LFAR oleh BPK RI
LFAR dilaksanakan dengan sejumlah prosedur pemeriksaan yang dirancang untuk memperoleh bukti yang cukup, kompeten, dan relevan dalam rangka mendukung temuan. Di dalamnya termasuk analisis dokumen keuangan, wawancara dengan pejabat terkait, dan penggunaan teknik audit berbasis risiko untuk mengidentifikasi area yang rentan terhadap fraud. Pertanyaan dan kriteria pemeriksaan dipetakan dengan menggunakan audit design matrix sebagai dasar penyusunan temuan dan pengukuran ketercapaian tujuan pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan ini, BPK juga menilai seberapa dalam relevansi antara kebijakan program dan kegiatan pemerintah daerah dengan sejumlah indikator, seperti peta jalan pembangunan nasional (Renstra, RPJMN, RPJP), data BPS dan Bappenas, serta komitmen global dalam bentuk Sustainable Development Goals (SDGs).
BPK mengawali penerapan LFAR melalui pilot project tahun 2020 yang diikuti oleh lima BPK Perwakilan di Wilayah Sumatera dan Jawa dengan entitas pemeriksaan merupakan pemerintah provinsi setempat. Pilot project tersebut membawakan tema pemeriksaan terkait infrastruktur, penanggulangan bencana, dan lingkungan hidup.
Salah satu topik pemeriksaan piloting BPK adalah Program Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur serta Pengelolaan Dana Otonomi Khusus pada Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2019. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menemukan sejumlah permasalahan, seperti pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) untuk infrastruktur yang belum didukung regulasi yang komprehensif, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang belum sesuai ketentuan dalam master plan, belum terintegrasinya program dengan SDGs, dan ketidaktercapaian target kinerja pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. BPK menyimpulkan bahwa Pemerintah Aceh masih kurang efektif dalam mencapai target atas program tersebut.
Secara keseluruhan, pemeriksaan tersebut menghasilkan 52 temuan kepada entitas yang diperiksa. Selain itu, BPK juga memberikan 100 rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah provinsi setempat. Hasil pemeriksaan di atas disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan tambahan atas pencapaian output program kegiatan oleh pemerintah daerah, dan digabung dalam satu executive summary dengan pemeriksaan LK.
Setelah mengalami kesuksesan, BPK Kembali melanjutkan pilot project tersebut pada tahun 2021 dengan melibatkan lebih banyak satuan kerja, yakni 16 BPK Perwakilan. Topik pemeriksaan juga ditambah menjadi delapan topik yang mewakili isu-isu penting saat itu. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan, seluruh entitas mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Investasi menjadi salah satu topik pemeriksaan BPK saat itu, dengan objek Penyelenggaraan Kebijakan Penananaman Modal Daerah pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2020. Hasilnnya, ditemukan permasalahan dalam penyelenggaraan investasi daerah Jawa Tengah, seperti regulasi pendukung kebijakan investasi yang belum sepenuhnya tersedia, sistem pelayanan perizinan yang belum terintegrasi secara online, serta pemantauan investasi yang belum optimal berakibat pada berkurangnya potensi penambahan nilai realisasi investasi.
Scope yang lebih luas serta objek pemeriksaan yang lebih banyak membuat BPK menghasilkan 136 temuan pemeriksaan yang apabila tidak diselesaikan dapat memengaruhi efektivitas pembangunan daerah. Agar hal tersebut tidak terjadi, BPK memberikan 366 rekomendasi kepada pemerintah provinsi yang diperiksa.
Tidak berhenti di sana, pemeriksaan LFAR atas investasi daerah ini kemudian berkembang menjadi salah satu pemeriksaan tematik kinerja nasional dengan tema “Upaya Mendorong Kemudahan Berusaha di Daerah melalui Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal.” Pemeriksaan berskala nasional ini melibatkan 1 pemerintah provinsi, 21 pemerintah kabupaten, 19 pemerintah kota, dan Kementerian Dalam Negeri, menghasilkan 42 LHP.
Melanjutkan kesuksesan dua pemeriksaan sebelumnya, pada tahun 2022 BPK kembali melaksanakan pemeriksaan LFAR pada 34 pemerintah provinsi oleh seluruh Perwakilan BPK seluruh Indonesia. Menerapkan kebijakan yang sama dengan pemeriksaan sebelumnya, LFAR kali ini bertujuan menilai seberapa efektif upaya pemerintah daerah dalam program penanggulangan kemiskinan. Pemilihan tema yang seragam sejalan dengan kondisi daerah yang kala itu terkena dampak luar biasa akibat pandemi COVID 19, dimana angka kemiskinan di daerah meningkat secara signifikan. Selain itu, pemeriksaan LFAR ini dilaksanakan dalam upaya mendukung Prioritas Nasional ke-3, yakni “Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing.” Dalam kaitannya dengan SDGs, pemeriksaan ini pun sejalan dengan tujuan pertama dari 17 tujuan sampai tahun 2030, yakni “end poverty in all its forms everywhere.”
BPK menemukan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan masih menghadapi berbagai masalah, seperti belum tersusunnya Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD) dan Rencana Aksi Tahunan, koordinasi kebijakan yang belum optimal, pengendalian intern yang kurang memadai, serta kurangnya pemanfaatan data kependudukan yang akurat. Selain itu, banyak subkegiatan yang belum tepat waktu, sasaran, dan manfaat, akses permodalan usaha masih terbatas, serta pelibatan masyarakat dan sektor usaha dalam program penanggulangan kemiskinan masih kurang, termasuk dalam identifikasi dan pemanfaatan modal wilayah serta akses pasar untuk produk hasil pemberdayaan masyarakat miskin.
Namun, merupakan suatu bentuk kepastian jika sebuah inovasi baru dihadapi oleh berbagai kendala dan tantangan. Tantangan tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Dari sisi internal, pelaksanaan pemeriksaan LFAR yang berbarengan dengan pemeriksaan LKPD tentunya, berdampak pada ketersediaan sumber daya pemeriksa. Untuk mengatasi hal tersebut, BPK telah melakukan penerimaan sumber daya baru dalam jumlah yang relatif mencukupi dengan mempertimbangkan pemetaan kebutuhan auditor di tiap daerah.
Selain itu, pemeriksaan LFAR juga memerlukan auditor yang memiliki kompetensi audit kinerja yang biasanya multidisipliner, melibatkan subject matter, dan kriteria yang bervariasi. Tantangan tersebut memantik BPK untuk mengintensifikasi berbagai pelatihan teknis dan mengadopsi teknologi audit dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses audit.
Selain itu, penentuan tema yang tepat juga perlu dikaji secara matang agar pemeriksaan dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Format LKPD yang tidak memuat kinerja pemerintah daerah menjadi tantangan eksternal bagi BPK dalam menerapkan LFAR. Kondisi membuat pemeriksa melakukan prosedur pemeriksaan lebih banyak dalam waktu yang cukup singkat. Penemuan metode pemeriksaan yang tepat tentunya sangat mendukung penerapan LFAR kedepannya.
Simpulan
Implementasi LFAR oleh BPK merupakan sebuah upaya signifikan demi memperkuat akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara. Penggabungan antara laporan pemeriksaan keuangan dan kinerja kiranya memberi gambaran yang lebih komprehensif mengenai penggunaan dana publik dan ketercapaian program pemerintah. Menggunakan pendekatan ini, BPK dapat mengidentifikasi celah-celah penyalahgunaan anggaran dalam program prioritas pemerintah, dan memberikan rekomendasi yang relevan untuk perbaikan berkelanjutan.
Keberhasilan rangkaian peta jalan implementasi LFAR sejak beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa metode ini efektif dalam mengungkap dan mengatasi permasalahan yang memengaruhi kinerja pemerintah daerah.
Menurut Duygun (2021), pendekatan audit yang lebih komprehensif juga membuat LFAR membutuhkan quality assurance dan quality control yang amat presisi demi menjamin ketercapaian integrated engagement objectives dan keselarasannya dengan rencana pemeriksaan. Maka dari itu, pengembangan dan penyempurnaan metodologi dan implementasi LFAR, peer review dengan lembaga internasional yang lebih dulu menerapkan LFAR, pemahaman akan rencana strategis pemerintah, pelatihan teknis pemeriksaan dengan pendekatan LFAR, serta pemutakhiran teknologi audit menjadi langkah strategis yang perlu terus dilakukan BPK dalam meningkatkan kualitas audit secara berkelanjutan, serta demi menjaga relevansi terhadap stakeholder.
Kelak apa yang dilaksanakan BPK diharapkan dapat menjadi best practice untuk diterapkan juga oleh APIP dalam melakukan pengawasan internal, demi memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah daerah telah memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat, sesuai tujuan mulia dalam UUD 1945.
Kredensial Penulis:
- Rifky Pratama Wicaksono, S.Ak., CertDA
The writer is the Policy Technical Reviewer at The Audit Board of Indonesia who was involved in the BPK Long Form Audit Report working groups from 2021 to 2022. His writings related to Economics and Public Policy can be found in East Asia Forum.
- Muhammad Rafi Bakri, CertDA, CertIPSAS
The writer is the Data and Finance Analyst at The Audit Board of Indonesia and and his other writings related to Accounting, Economics and Audit can be found in Kompas, JakartaPost, East Asia Forum, etc.