FRAUD DALAM POLITIK: KONSEP AWAL

Dalam rumusan Association of Certified Fraud Examiners, fraud pada dasarnya adalah suatu hal yang mengandalkan tipu daya untuk memperoleh keuntungan. Ia akan menjadi suatu tindak kejahatan apabila seorang individu melakukan kebohongan atau muslihat untuk merampas kekayaan atau kepemilikan seseorang atau sebuah organisasi. Dari pemahaman ini, ada dua bagian kunci yang dapat dideteksi. Pertama, kebohongan sebagai sebuah tindakan. Kedua, merampas hak pihak lain sebagai tujuan.

Bagian-bagian kunci ini berlaku umum. Di dunia swasta, sebagai contoh, bila seorang pegawai menerima kickback dari pihak ketiga demi ditunjuk menjadi vendor di tempat kerjanya, maka ia sedang melakukan tipu muslihat terhadap tempat kerjanya demi memperoleh keuntungan yang tidak seharusnya, yang sejatinya bersumber dari keuangan tempat kerjanya itu. Di dunia pemerintah, bila seorang aparat menerima dana lebih dari pihak lain demi meloloskan pembelian yang under specification, sejatinya ia melakukan tipu muslihat terhadap pemerintah dan merampas sejumlah hak, baik yang di sisi pemerintah, maupun di sisi masyarakat.

Di dunia politik, bertebaran hal yang dapat dijadikan contoh, apalagi bila yang dijadikan penilai adalah masyarakat. Mereka cenderung menilai bahwa politisi itu berbohong bila mereka menjanjikan sesuatu tetapi tidak ditepati. Apalagi bila memang si politisi hanya mengumbar janji kosong tanpa niatan memenuhi. Soal janji tersebut sebetulnya sudah diusahakan untuk ditepati tetapi sulit, masyarakat tidak ambil pusing. Intinya politisi tetap berbohong. Contoh kebohongan lainnya adalah bila seorang politisi membuat pernyataan tertentu, tetapi kemudian ia ingkari. Meski ada hal baru yang membuat si politisi mengubah pernyataannya, mayoritas masyarakat +62 tetap akan menganggapnya berbohong.

Menilai bagian kunci pertama tampaknya mudah. Tetapi tidak demikian adanya dengan menilai bagian kunci kedua, yaitu merampas hak pihak lain sebagai tujuan. Bagian ini dapat diklasifikasi menjadi dua sub bagian, terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki hak dan hak itu sendiri. Kita mulai dari objek, alias hak yang menjadi objek rampasan. Hak ini berbagai macam, dapat berupa hal moneter atau materiil, bisa pula berupa hal immateriil seperti jabatan dan kekuasaan, pun hak individu/organisasi.

Siapa pemiliknya? Individu atau kelompok yang memiliki hak, dalam dunia politik, lagi-lagi, ada banyak. Ada masyarakat warga negara Indonesia, baik secara individu maupun kelompok, yang berhak mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan yang sejatinya mereka pilih. Ada pemerintahan sebagai sebuah institusi yang berhak dipimpin dan dijalankan oleh orang yang benar, di samping juga sebagai pemilik anggaran yang harus dijalankan dengan benar. Dalam kasus pemilihan legislatif dan kepala daerah, dapat terjadi hak yang dirampas adalah hak calon anggota legislatif atau calon kepala daerah yang seharusnya menjabat bila fraud tidak dilakukan.

Meski bagian-bagian kunci yang disebutkan di atas berlaku umum, sejatinya fraud dalam politik tidak “sesederhana” fraud di sektor lain. Fraud di dunia politik, terutama bila dilakukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan kepala daerah, bila berhasil, berpotensi menghasilkan fraud-fraud lain dalam jangka panjang. Minimal selama 5 tahun; sesuai dengan periodisasi keterwakilan di parlemen atau kepemimpinan kepala daerah. Mengapa demikian? Karena terbuka ruang untuk mempertanyakan legitimasi kebijakan atau persetujuan dan penggunaan anggaran yang ditetapkan oleh pelaku fraud tersebut selama ia menjabat. Kembali ke bagian kunci di atas, yaitu seorang individu melakukan kebohongan atau muslihat untuk merampas kekayaan atau kepemilikan seseorang atau sebuah organisasi, tidakkah ia terus melakukannya selama periode waktu ia menempati jabatan atau memiliki kuasa yang bukan haknya? Dengan kata lain, fraud di dunia politik yang berhasil dilakukan berpotensi menjadi fraud jangka panjang dengan perampasan aset materiil dan imateriil, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penyelesaiannya bagaimana? Akankah selayaknya penegakan hukum atas fraud yang melibatkan aset materiil secara langsung? Sulit dijawab. Yang jelas, penduduk negeri gemah ripah loh jinawi ini agaknya pemaaf. Penyelesaian damai sangat mungkin terjadi, walau kemungkinan besar tidak dengan tangan kosong. Win-win solution selalu dikedepankan. Demi kemaslahatan rakyat, katanya. Tapi kemudian muncul pertanyaan, betulkah maslahat yang akan berlaku bagi rakyat bila itu didasari oleh kebohongan dan perampasan hak? Hanya Tuhan yang tahu dan hati manusia yang merasakan.

*Tulisan ini merupakan konsep yang akan terus berkembang, merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan resmi institusi.

By Dr. Farahdina Al Anshori, CFE
The writer is the Deputy Director of Youth Development
at ACFE Indonesia Chapter

2024-05-22T16:05:33+07:00 May 22nd, 2024|