Saat ini ramai dibicarakan tentang nepotisme. Penulis terinspirasi tulisan Nicole Loring (2023). Loring menemukan korupsi (fraud) politik di Asia Tenggara berbeda dengan di Amerika Serikat. Perbedaan ini karena salah satunya adalah sosio-kultural. Nepostisme merupakan salah satu yang diamati oleh Loring di Asia Tenggara yaitu Thailand. Tulisan lain oleh Yates (2022) menyoroti politik dinasti di Korea Utara. Yates dalam abstraksi tulisan journalnya bahkan menyatakan kelompok kerabat yang kejam menancapkan diri mereka dalam kekuasaan, mempraktikkan nepotisme, dan merusak institusi pemerintahan republik melalui suksesi dinasti. Nepotisme bukan hanya di sektor pemerintahan namun melanda juga sektor komersial yang kepemilikan mayoritasnya didominasi keluarga. Jeong & Kim (2022) menemukan bahwa di Korea Selatan dibandingkan orang dalam yang bukan keluarga, anggota keluarga lebih disukai ditunjuk di perusahaan yang bergengsi untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan reputasi. Perusahaan tersebut memberikan lingkungan organisasi yang terlindungi untuk terbentuknya nepotisme.
Salah satu persoalan yang mengemuka tentang nepotisme adalah apakah makna nepotisme dan apakah nepotisme adalah terbatas perbuatan tidak patut atau tidak patut alias niretika ataukah merupakan fraud. Nepotisme menurut kamus Merriam-Webster adalah favoritisme (seperti dalam pengangkatan suatu pekerjaan) berdasarkan kekerabatan. Hal senada tentang nepotisme menurut kamus Cambridge adalah tindakan menggunakan kekuasaan atau pengaruh seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik atau keuntungan yang tidak adil bagi anggota keluarga sendiri. Nepotisme berarti adalah suatu kegiatan seseorang dalam memanfaatkan kedudukan ataupun posisinya untuk lebih memprioritaskan teman atau keluarganya di atas kepentingan umum. Hal ini biasanya dilakukan atas dasar hubungan kedekatan atau hubungan keluarga saja, bukan atas dasar kompetensi. Nepotisme memberi implikasi adanya konflik kepentingan, pemanfaatan kekuasaan dan kewenangan, kolusi dan mengundang ketidakadilan.
Secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Definisi ini membawa makna nepotisme merugikan masyarakat, bangsa dan negara karena mendahulukan kepentingan keluarga dan atau kroninya. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berarti Penyelenggara Negara tidak membatasi suatu fungsi dan tingkatan.
Pasal 22 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 mengatur sanksi atas perbuatan nepotisme sebagai berikut: “Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
Contoh yang paling mudah untuk menemukan aktivitas nepotisme yaitu manajer atau pimpinan suatu perusahaan lebih memilih untuk mengangkat jabatan seseorang karena mereka temannya, saudaranya, kroni, atau favorit (selera) karena kedekatan dan penghambaannya, bukan karena kompetensi. Praktik demikian dapat juga terjadi di pemerintahan. Acapkali untuk memuluskan jalan orang yang sudah dipilih walau tidak layak, maka dibuatlah berbagai dalih, berbagai dokumen pendukung yang mengelabui, bahkan peraturan yang menghambat diubah dengan menyesuaikan dan memudahkan jalan orang yang sudah dipilih tersebut. Aktivitas nepotisme oleh karena itu merupakan suatu kegiatan yang merugikan orang lain berupa menutup kesempatan kepada orang yang berprestasi dan hanya akan memberikan keuntungan kepada beberapa orang dan kelompok yang dekat dengan pemilik kewenangan dan kekuasaan saja. Nepotisme bukan hanya terjadi pada pemilihan personil namun juga dapat terjadi pada pemilihan vendor atau rekanan, distributor dan debitur.
Nepotisme dapat memberikan dampak besar bagi masa depan suatu institusi, instansi ataupun negara. Oleh karena itu, pemahaman tentang nepotisme menjadi sangat penting dalam era saat ini. Nepotisme memiliki istilah yang berbeda namun memiliki arti yang sama, seperti kroniisme dan favoritisme, nepotisme mempunyai pengaruh buruk terhadap efisiensi perusahaan dan menyebabkan kinerja buruk bagi perusahaan (Kaushal et.al, 2021). Nepotisme pada instansi negara ataupun pada negara jelas memberikan dampak atau pengaruh buruk yang lebih dahsyat kepada rakyat sebagai pemilik negara dan yang memiliki hak kepada negara untuk memperoleh kesejahteraan, keadilan, pemerataan, kesehatan dan sebagainya.
Apabila menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, nepotisme merupakan ranah yang harus diberantas bersama pemberantasan korupsi dan kolusi karena semuanya merupakan perbuatan pidana, bagaimanakah upaya pemberantasannya di Indonesia? Apakah dibutuhkan penyelidikan dan penyidikan tuntas berdasarkan hukum acara pidana? Ataukah tidak dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan tuntas berdasarkan hukum acara pidana tetapi dituntaskan sebagai perbuatan pelanggaran etika ataukah dituntaskan di ranah politik? Apabila menyangkut suatu kekuasaan besar di negara, instansi manakah yang berani dan sanggup melaksanakan penyelidikan dan penyidikan tuntas tersebut atau instansi manakah yang berani dan sanggup melaksanakan pengusutan pelanggaran etika? Sama halnya apabila persoalan nepotisme, kronisme, favoritisme di entitas korporasi melibatkan pemilik kewenangan dan kekuasaan yang tinggi, apakah satuan kerja anti fraud atau satuan kerja audit intern berani dan sanggup melaksanakan investigasi nepotisme?
Seringkali muncul pertanyaan, terutama di entitas korporasi, apakah nepotisme adalah fraud ataukah pelanggaran etika. Rumusannya mudah, apabila tata kelola anti fraud suatu korporasi khususnya peraturan-peraturan, kebijakan dan prosedur yang diberlakukan mengatur larangan nepotisme secara jelas dan tegas dalam bentuk apapun sehingga perbuatan nepotisme menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan korporasi, maka hal ini adalah fraud.
Adalah hal yang bagus apabila etika di suatu korporasi merumuskan nilai-nilai yang mencegah perbuatan nepotisme seperti fairness, justice dan equality. Nilai-nilai mulia tersebut mewarnai kebijakan, peraturan dan prosedur antara lain pada sumber daya manusia dan pengadaan barang dan jasa. Sehingga, doktrin anti fraud dan doktrin niretika telah menutup peluang dan pengakalan (pengelabuan) perbuatan nepotisme. Tinggal selanjutnya adalah penegakkan doktrin anti fraud dan doktrin niretika terkait nepotisme harus secara konsisten diterapkan tanpa kecuali. Yang jadi banyak masalah adalah persoalan nepotisme tidak diperlakukan sebagai perbuatan fraud atau tidak dianggap dan tidak diatur sebagai perbuatan niretika. Lebih naas lagi, nepotisme sudah diatur dan diakui sebagai perbuatan fraud atau niretika namun tidak ada penegakan hukumnya yang diterapkan secara konsisten tanpa kecuali.
Dalam konteks sebagai perbuatan niretika atau melanggar etika, perbuatan nepotisme atau memanfaatkan konflik kepentingan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain di atas kepentingan dimana pelaku nepotisme bertugas patut dikenakan sanksi yang menjerakan. Mengingat, banyak terjadi perbuatan nepotisme namun karena ketiadaan peraturan yang mengatur detil bentuk nepotisme dan sanksi hukumnya, membuat sanksi nepotisme hanya bersifat administratif seperti penurunan pangkat atau jabatan, pembebasan jabatan, dan pemberhentian. Padahal pemberantasan konflik kepentingan seperti nepotisme yang notabene merugikan korporasi dan negara dan pemberantasan pelanggaran etika seharusnya sama-sama membawa efek jera sehingga tidak ada lagi nepotisme dan pelanggaran etika yang mengarah kepada budaya koruptif.
By Diaz Priantara
The writer is the Deputy Director of Research
at ACFE Indonesia Chapter